Oleh: Achmad Zuhdi Dh
(0817581229)
Yang dimaksud dengan badal haji
adalah kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau
menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik)
disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.
Semua ulama sepakat bahwa haji
adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu [1], sekali
dalam seumur hidupnya [2]. Namun, ulama berbeda pendapat dalam hal boleh
tidaknya melaksanakan badal haji.
Mayoritas ulama memperbolehkan
badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama
empat madzhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i
dan Imam Hambali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali
kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan. Ini pun
dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya. [3]
Alasan ulama yang tidak
memperbolehkan badal haji adalah bahwasanya haji itu hanya diwajibkan kepada
orang Islam yang mampu, baik fisik maupun keuangan. Jadi, kalau ada orang yang
sakit atau lemah secara fisik maka ia dianggap orang yang tidak mampu, karena
itu ia tidak berkewajiban haji. Demikian juga orang yang telah wafat, ia
dianggap sudah tidak berkewajiban untuk haji. Karena itu orang yang lemah
secara fisik hingga tidak kuat untuk berhaji apalagi orang yang sudah wafat,
maka kepada orang tersebut tidak perlu dilakukan badal haji. Orang ini
dipandang telah gugur kewajiban hajinya [4].
Adapun alasan ulama yang
memperbolehkan badal haji adalah berdasarkan kepada beberapa hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ
وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».
1. Hadist riwayat Ibnu Abbas dari
al-Fadl: "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada
Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua
renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah:
"Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (H.R. Bukhari, Muslim
dll.).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ
جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ
أَنْ تَحُجَّ ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ
. حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً
اقْضُوا اللَّهَ ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ »
2. Hadist riwayat Ibnu Abbas ra:
" Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Nabi s.a.w., ia
bertanya: "Wahai Nabi Saw, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan
ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji
tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah
untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah
hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari
& Nasa'i).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً
يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ :مَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ
لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ
حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
3. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat
melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata
"Labbaik 'an Syubrumah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanMu ya Allah,
untuk Syubrumah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubrumah?". "Dia
saudaraku, wahai Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah
pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya.
"Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah", lanjut
Rasulullah. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain). Syekh al-Albani
menilai hadis ini shahih [5].
Berdasarkan
beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama membenarkan adanya syariat badal haji,
dengan syarat orang yang melaksanakan badal haji sudah terlebih dahulu
melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
Argumentasi ulama yang tidak memperbolehkan
badal haji:
1. Ibadah haji itu, sungguhpun
terdiri dari dua macam yaitu ibadah fisik dan ibadah harta, namun unsur
fisiknya lebih dominan. Karena itu ibadah haji tidak boleh diwakilkan atau
digantikan oleh orang lain [6].
2. Berdasarkan al-Qur’an surat
al-Najm,39:Allah berfirman: وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
(bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya). Ayat tersebut menunjukkan
bahwa seseorang hanya akan dapat pahala jika ia sendiri yang melakukannya.
Karena itu amal ibadah yang dilakukan untuk atau atas nama orang lain, seperti
badal haji, tidak akan ada manfaatnya. Jadi sia-sia saja.
3. Mengenai beberapa hadis yang
menjelaskan adanya perintah Nabi Saw kepada sejumlah sahabat untuk melakukan
haji atas nama orang tua dan saudaranya itu, oleh kelompok ulama ini, dinilai
tidak shahih secara matan meski shahih secara sanad. Karena dianggap
bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Najm ayat 39 tersebut.
Pendapat ini didukung oleh ulama
Malikiyah. Di Indonesia, ulama yang mendukung pendapat ini adalah sejumlah
ulama Persatuan Islam (Persis) Bangil. [7]
Argumentasi ulama yang
memperbolehkan badal haji:
1. Harus difahami bahwa Nabi Saw
memiliki otoritas untuk menetapkan hukum sendiri selain berdasarkan al-Qur’an.
Karena itu tidak semua hadits yang “terkesan” bertentangan dengan al-Qur’an
lalu dinyatakan tidak shahih. Seperti hadis tentang bolehnya menghajikan orang
lain (orangtua atau saudara) yang dianggap bertentangan dengan surat al-Najm
ayat 39 yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali
atas usahanya sendiri. Dalam kajian Ushul Fiqh dikenal adanya “takhshis”, yaitu
pembatasan atau pengecualian terhadap ketentuan yang bersifat umum. Takhshis
ini bisa berupa al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dan bisa juga al-Qur’an dengan
al-Hadis. Sebagai contoh QS. Al-Maidah,3 (tentang: diharamkan atas kamu
bangkai, hewan yang mati tanpa disembelih). Oleh Nabi Saw kemudian di
“takhshis”, dibatasi dengan mengecualikan bangkai ikan dan belalang (HR.Ahmad,
Ibn Majah dan al-Baihaqi. Al-Albani menilainya shahih). Kalau orang tidak
memahami sunnah atau hadis, maka akan mengatakan bahwa semua bangkai adalah
haram berdasarkan ayat al-Qur’an tersebut. Tetapi, karena memahami adanya
sunnah atau hadis yang berfungsi menjelaskaan al-Qur’an dan juga mengecualikan
keterangan yang bersifat umum, maka bisa difahami bahwa semua bangkai haram
kecuali yang dikhususkan oleh Nabi saw, yaitu bangkai ikan dan belalang.
Demikian juga tentang ayat yang
menerangkan bahwa seseorang tidak akan dapat pahala kecuali dari usaha amalnya
sendiri (QS. Al-Najm, 39). Oleh Nabi Saw, ayat yang bersifat umum tersebut
dikecualikan dengan amalan badal haji, menghajikan orang yang telah meninggal
(yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya
(secara fiik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan
sembuh. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa badal haji itu
dibenarkan menurut syariat.
2. Jika ada hadis yang
menerangkan bahwa amal manusia itu akan terputus bilamana telah maninggal
kecuali tiga hal (amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mau
mendoakannya) HR. Muslim. Maka yang terputus adalah usahanya sendiri, sementara
usaha atau amalan orang lain masih bisa bermanfaat baginya seperti doa dan lain
sebagainya. Adapun al-Qur’an surat al-Najm,39 yang menerangkan bahwa manusia
tidak akan dapat pahala selain dari amal usahanya sendiri, maka anak yang
menggantikannya untuk badal hajinya adalah merupakan usaha orang tuanya. M.
Nashiruddin Al-Albani mengatakan bahwa:كان الولد من سعى الوالد
, anak itu adalah merupakan usaha orang tuanya [8]. Karena itu badal haji yang
dilakukan anaknya bisa dianggap sebagai bagian dari usahanya sendiri.
3. Sebagian besar ulama madzhab
mendukung pendapat tentang bolehnya melaksanakan badal haji, seperti ulama
Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Sementara ulama kontemporer yang mendukung
bolehnya melakukan badal haji antara lain: Syekh M. Nashiruddin al-Albani,
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin
dan para ulama Saudi yang lain. [9]
1. Imam al-Bukhari dalam Kitab
Shahihnya [10] membuat judul:
بَابُ الْحَجِّ وَالنُّذُوْرِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالرَّجُلِ يَحُجُّ عَنِ
الْمَرْأَةِ
a. Bab al-hajj wa al-nudzur ‘an
al-mayyit wa al-rajul ‘an al-mar’ah (bab tentang haji dan nadzar dari orang
yang mati dan haji orang laki-laki untuk perempuan)
باب الْحَجِّ عَمَّنْ لاَ يَسْتَطِيعُ الثُّبُوتَ عَلَى الرَّاحِلَة
b. Bab al-hajj ‘amman laa
yasthi’u al-tsubuut ‘alaa al-rahilah (bab tentang haji untuk orang yang tidak
mampu duduk di atas kendaraan)
2. Imam Muslim dalam Kitab
Shahihnya [11] membuat judul:
باب الْحَجِّ عَنِ الْعَاجِزِ لِزَمَانَةٍ وَهَِرَمٍ وَنَحْوِهِمَا أَوْ
لِلْمَوْت
a. Bab al-hajj ‘an al-‘Ajiz
lizamanatin waharamin wa nahwiha au lil maut (bab tentang haji untuk orang yang
lemah dikarenakan sakit yang tak ada harapan sembuh atau karena ketuaan, dsb
atau karena kematian).
Judul-judul bab yang ditulis
dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim tersebut menunjukkan bahwa Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim yang dikenal sebagai syekh ahli hadis yang paling
disegani di kalangan para pemerhati hadis lebih cenderung pada pendapat bahwa
badal haji itu disyariatkan.
Wallahu A’lam !
________________________________________
BERMINAT????
Silahkan Hubungi Kami di:
KBIU Nurul Djanbi
Jl. Sentot Ali Basa No. 30 RT. 19
Kel. Payo Selincah
Kec. Jam bi Timur
Kota Jambi
Indonesia 36148
Phone: 081 53 2222 177