Kita lihat sebagian orang terlalu
bermudah-mudahan menghajikan orang lain, alias membadalkan
haji. Padahal tidak mudah begitu saja membadalkan haji, ada
ketentuan, syarat dan hukum yang mesti diperhatikan. Di antara ketentuan yang
ada, haji sudah kita ketahui bersama diperintahkan bagi yang mampu saja.
Sedangkan jika miskin, maka tidak diwajibkan untuk berhaji. Jika tidak
diwajibkan maka tentu tidak wajib dibadalkan.
Sebenarnya pembahasan ini sudah
dibahas sebelumnya di sini. Namun
pada bahasan kali ini kami lebih konsentrasi membahas syarat dan ketentuan
badal haji tersebut. Di antara ketentuan yang perlu diperhatikan dalam badal
haji adalah sebagai berikut:
1- Tidak sah badal haji dari orang yang mampu melakukan haji
Islam dengan badannya.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Tidak
boleh menggantikan haji wajib dari seseorang yang mampu melaksanakan haji
dengan dirinya sendiri. Ini disepakati (ijma’) oleh para ulama. Ibnul Mundzir
berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang punya kewajiban menunaikan haji
Islam dan ia mampu untuk berangkat haji, maka tidak sah jika yang lain
menghajikan dirinya.” (Al Mughni, 3: 185)
2- Badal haji hanya untuk orang sakit yang tidak bisa
diharapkan sembuhnya, atau untuk orang yang tidak mampu secara fisik, atau
untuk orang yang telah meninggal dunia.
Komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al
Lajnah Ad Daimah) ditanya, “Bolehkah seorang muslim menghajikan salah seorang
kerabatnya di negeri Cina yang tidak mampu pergi menunaikan haji yang wajib?”
Para ulama yang duduk di Lajnah
Daimah menjawab, “Boleh bagi seorang muslim menunaikan haji wajib untuk orang
lain (badal haji) jika orang lain tersebut tidak mampu menunaikan haji dengan
dirinya sendiri dilihat dari umurnya yang sudah tua, atau karena sakit yang
tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau karena telah meninggal dunia. Bolehnya
hal ini karena ada hadits shahih yang menerangkannya. Namun jika orang yang
dihajikan tidak mampu berhaji saat itu saja semisal tertimpa penyakit yang bisa
diharapkan sembuhnya, atau karena keadaan politik dalam negeri, atau perjalanan
yang tidak aman, maka tidak sah membadalkan haji untuknya.” [Yang
menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdur
Rozaq, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud. Fatawa Al Lajnah
11: 51]
3- Membadalkan haji bukan untuk orang yang tidak mampu secara
harta. Karena jika yang dibadalkan hajinya itu miskin (tidak mampu berhaji
dilihat dari hartanya), maka gugur kewajiban haji untuknya. Membadalkan haji
cuma untuk orang yang tidak mampu secara fisik saja.
Al Lajnah Ad Daimah ditanya,
“Bolehkah seseorang mengumrohkan atau menghajikan kerabatnya yang jauh dari
Mekkah dan memang ia tidak punya apa-apa untuk ke Mekkah, namun ia mampu untuk
melakukan thowaf?”
Jawab para ulama di Lajnah, “Kerabat
yang engkau sebut tidak wajib untuk berhaji karena ia tidak mampu berhaji
secara finansial (tidak punya kecukupan harta). Sehingga tidak sah membadalkan
haji atau umroh untuknya. Yang dianggap sah adalah jika ia sebenarnya mampu
untuk menunaikan haji atau umroh dengan badannya, yaitu ia bisa hadir di
tempat-tempat haji. Sehingga boleh menghajikan mayit dan orang yang tidak mampu
untuk berhaji secara fisik (tapi punya kemampuan finansial, pen).” [Yang
menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdur
Rozaq, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud. Fatawa Al Lajnah
11: 52]
4- Tidak boleh seseorang membadalkan haji orang lain kecuali
ia telah menunaikan haji yang wajib untuk dirinya. Jika ia belum berhaji untuk
diri sendiri lantas ia menghajikan orang lain, maka hajinya akan jatuh pada
dirinya sendiri.
Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah
berkata, “Tidak boleh seseorang menghajikan orang lain sebelum ia berhaji untuk
dirinya sendiri. Dalil dari hal ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar
seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syabromah [Aku memenuhi panggilan-Mu,
dan ini haji dari Syabromah]”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu sendiri?” “Tidak”,
jawabnya. Lantas beliau bersabda, “Berhajilah untuk dirimu terlebih dahulu,
baru engkau menghajikan Syabromah.” [Yang menandatangani fatwa ini adalah
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan. Fatawa Al Lajnah 11: 50]
5- Wanita boleh membadalkan haji laki-laki, begitu pula
sebaliknya.
Para ulama Lajnah berkata,
“Membadalkan haji itu dibolehkan jika orang yang membadalkan telah berhaji
untuk dirinya sendiri. Begitu pula jika seseorang menyuruh wanita untuk
membadalkan haji ibunya, itu boleh. Sama halnya pula jika seorang wanita
membadalkan haji untuk wanita atau pria, itu pun boleh. Sebagaimana adanya
dalil shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan hal ini.” [Fatwa Al Lajnah 11: 52]
6- Tidak boleh seseorang membadalkan haji dua orang atau lebih
dalam sekali haji.
Para ulama yang duduk di Lajnah
berkata, “Tidak boleh seseorang dalam sekali haji membadalkan haji untuk dua
orang sekaligus, badal haji hanya boleh untuk satu orang, begitu pula umrah.
Akan tetapi seandainya seseorang berhaji untuk orang dan berumrah untuk yang
lainnya lagi dalam satu tahun, maka itu sah asalkan ia sudah pernah berhaji
atau berumrah untuk dirinya sendiri.” [Yang menandatangani fatwa ini adalah
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah
bin Qu’ud. Fatawa Al Lajnah 11: 58]
Catatan:
Demikianlah banyak di antara warga kita yang tertipu di Mekkah. Perlu diketahui
bahwa badal haji yang saat ini dilakukan sebagian warga kita di Mekkah kadang
cuma dijadikan bisnis. Buktinya (dan banyak yang menceritakan hal ini), ada yang
membadalkan haji untuk 10 orang sekaligus dalam sekali haji. Bagaimana mungkin
hal ini dibenarkan?! Jadi jangan sampai tertipu dengan sindikat para penipu
dalam ibadah badal haji.
7- Tidak boleh bagi seorang pun membadalkan haji dengan maksud
untuk cari harta. Seharusnya tujuannya membadalkan haji adalah untuk melakukan
ibadah haji dan sampai ke tempat-tempat suci serta berbuat baik kepada
saudaranya dengan melakukan badal haji untuknya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin berkata, ”Badal haji dengan tujuan hanya ingin cari harta, maka
Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan bahwa barang siapa berhaji dan cuma
ingin cari makan, maka di akhirat ia tidak akan mendapat bagian sedikit pun.
Namun barangsiapa yang niatannya memang ingin berhaji, maka tidaklah mengapa.
Jadi barangsiapa melakukan badal haji untuk orang lain, maka niatan ia
seharusnya adalah untuk menolong dan untuk memenuhi hajat saudaranya. Karena
yang dibadalkan adalah orang yang butuh. Tentu ia senang jika ada orang lain
menggantikan dirinya. Maka niatannya adalah berbuat baik untuk menunaikan hajat
saudaranya dan dengan niatan yang baik pula.” [Liqo’
Al Bab Al Maftuh, kaset no. 89, pertanyaan 6]
8- Pahala amalan haji apakah untuk yang membadalkan ataukah
yang dibadalkan?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin berkata, “Pahala badal haji jika berkaitan dengan kegiatan manasik,
maka semuanya akan kembali pada orang yang diwakilkan (orang yang dibadalkan).
Adapun untuk berlipatnya pahala dari sisi shalat, thowaf yang sunnah yang tidak
berkaitan dengan amalan manasik haji, begitu pula dengan bacaan Al Qur’an akan
kembali pada yang menghajikan (orang yang membadalkan).” [Adh Dhiyaa’ Al Laami’ min Khitob Al Jawaami’, 2: 478]
Namun Ibnu Hazm rahimahullah
berkata dari Daud, ia berkata, “Aku berkata pada Sa’id bin Al Musayyib: Wahai
Abu Muhammad, pahala badal haji untuk orang yang menghajikan ataukah yang
dibadalkan? Jawab beliau, Allah Ta’ala bisa memberikan kepada mereka
berdua sekaligus.”
9- Lebih afdhol, anak membadalkan haji kedua orang tuanya atau
kerabat membadalkan haji kerabatnya. Namun jika orang lain selain kerabat yang
membadalkan, juga boleh.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
ditanya mengenai apakah si anak membadalkan haji ortunya sendiri ataukah
menyewa orang lain untuk menghajikannya. Beliau menjawab, “Jika engkau
menghajikan orang tuamu dengan dirimu sendiri, lalu engkau bersungguh-sungguh
menyempurnakan hajimu tersebut, maka itu lebih baik. Namun jika engkau
mempekerjakan orang lain untuk menghajikan orang tuamu di mana orang yang
menghajikan punya agama yang bagus dan amanah, maka tidak mengapa.” [Fatwa Syaikh Ibnu Baz, 16: 408]
10- Seharusnya betul-betul perhatian untuk memilih orang yang
membadalkan haji yaitu carilah orang yang amanat dan memahami benar ibadah
haji.
Para ulama Al Lajnah Ad Daimah
berkata, “Seharusnya bagi orang yang ingin mencari siapa yang ingin membadalkan
haji, hendaklah ia memilih yang bagus agamanya dan amanah sehingga ia merasa
tenang ketika ibadah wajib tersebut ditunaikan oleh orang lain.” [Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 11: 53][1]
Semoga mendapat ilmu yang
bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Diselesaikan 28/11/1433 H, di Sakan
27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA
Artikel Rumaysho.com
[1] Sumber-sumber fatwa di atas: http://www.islamqa.info/ar/ref/111794.
Selengkapnya mengenai ketentuan badal haji dapat dilihat dari link tersebut,
telah dikumpulkan dengan sangat baik oleh Syaikh Sholeh Al Munajjid, semoga
Allah menjaga dan memberkahi umur beliau.
BERMINAT????
Silahkan Hubungi Kami di:
KBIU Nurul Djanbi
Jl. Sentot Ali Basa No. 30 RT. 19
Kel. Payo Selincah
Kec. Jam bi Timur
Kota Jambi
Indonesia 36148
Phone: 081 53 2222 177